Like a Dragon Yakuza Live Action Adaptasi Game Legendaris SEGA yang Siap Mengguncang Dunia Film!
Penulis: Roneki Media
Updated Tanggal: 15 Oktober 2025
Ada momen langka dalam sejarah hiburan di mana batas antara dunia game dan film seolah menguap, dan lahirlah sesuatu yang mengguncang dua dunia sekaligus, Tahun 2025 menjadi panggung besar bagi momen semacam itu karena SEGA akhirnya membawa seri legendaris Yakuza ke layar lebar lewat film live action “Like a Dragon: Yakuza.”
Ketika Dunia Game dan Film Bertabrakan
Nama “Like a Dragon” mungkin sudah tidak asing di telinga para penggemar. Ini bukan sekadar judul, tapi simbol dari evolusi panjang seri Yakuza sebuah game yang sejak awal bukan cuma soal berantem di jalanan, tapi juga kisah tentang kehormatan, persahabatan, pengorbanan, dan makna hidup di tengah dunia kriminal Jepang, Kini, semua emosi dan kompleksitas itu bersiap dihidupkan lewat layar bioskop.
Film ini disebut-sebut sebagai proyek adaptasi terbesar SEGA setelah sukses “Sonic the Hedgehog”. Bedanya, jika Sonic menonjolkan kelucuan dan nostalgia masa kecil, maka “Like a Dragon: Yakuza Live Action” adalah perayaan sisi gelap, dramatis, dan brutal dari budaya pop Jepang. Dunia di mana geng jalanan, mafia, dan kode kehormatan kuno saling bertabrakan.
Yang membuat proyek ini semakin menarik adalah bagaimana film ini tidak hanya menargetkan fans lama, tapi juga penonton umum yang haus tontonan bergaya sinematik khas Asia Timur lengkap dengan suasana neon Tokyo, pukulan berdarah, dan kisah tragis seorang pria bernama Kazuma Kiryu yang hidup di antara dua dunia: kejahatan dan kebenaran.
Tak seperti adaptasi video game lain yang sering gagal karena “terlalu Hollywood”, sutradara proyek ini kabarnya menjaga esensi Jepang-nya tetap utuh, Tidak ada karakter yang diubah asal, tidak ada westernisasi berlebihan, dan yang paling penting setiap adegan dikurasi agar tetap setia pada semangat orisinal gamenya, Film ini adalah surat cinta untuk para penggemar Yakuza.
Dan bagi dunia perfilman internasional, ia menjadi tanda: era baru adaptasi video game telah dimulai era di mana cerita dan karakter bisa menembus batas medium.
Asal-Usul Legendaris Seri Yakuza
Untuk memahami besarnya makna “Like a Dragon: Yakuza Live Action”, kita harus menengok ke masa lalu ke tahun 2005, ketika SEGA meluncurkan game Ryu Ga Gotoku di Jepang, Judulnya berarti “Seperti Naga” dan itu bukan sekadar nama keren, Ia adalah filosofi.
Game ini diciptakan oleh Toshihiro Nagoshi, seorang visioner yang ingin membuat kisah dewasa tentang dunia bawah Jepang sesuatu yang jauh dari tren arus utama game pada saat itu, Di masa ketika game-game populer masih tentang perang luar angkasa atau petualangan fantasi, Nagoshi menulis kisah manusia: pria yang mencoba hidup terhormat dalam dunia yang sudah kehilangan kehormatan.
Protagonisnya, Kazuma Kiryu, dikenal sebagai “The Dragon of Dojima”. Dia bukan pahlawan tipikal. Ia adalah mantan anggota Yakuza yang berjuang menebus dosa dan melindungi orang-orang lemah.
Ceritanya penuh moral abu-abu, dengan drama seperti film gangster klasik tapi dikombinasikan dengan elemen khas Jepang karaoke, mini game, arcade SEGA, hingga adegan absurd yang menjadi meme internet.
Game Yakuza berkembang menjadi fenomena global, Serinya melahirkan spin-off seperti Judgment, Lost Judgment, dan versi RPG terbaru berjudul Like a Dragon: Infinite Wealth. Tapi di balik semua itu, penggemar selalu tahu: inti dari seri ini bukanlah pertarungan, melainkan cerita dan karakter.
Seiring waktu, penggemar game ini menyebutnya sebagai “drama manusia dengan pukulan keras”. Di sinilah daya tarik utamanya: kisah menyentuh, dialog yang intens, dan dunia yang terasa hidup.
Itulah mengapa ketika SEGA mengumumkan adaptasi live action-nya, internet langsung bergemuruh. Banyak yang skeptis di awal (karena trauma adaptasi buruk game lain seperti Resident Evil versi film), tapi begitu tim produksinya terungkap, harapan melonjak tinggi.
Film ini tak hanya sekadar adaptasi, tapi juga reinterpretasi dari warisan 20 tahun perjalanan Yakuza, SEGA menggandeng sutradara Jepang dengan reputasi kuat di film aksi neo-noir, memastikan nada visual dan narasinya tetap “berdarah Jepang”, Beberapa pemeran bahkan berasal dari dunia teater dan serial televisi kriminal ternama, demi menjaga aura realistisnya.
Dengan rekam jejak panjang dan basis penggemar global, “Like a Dragon: Yakuza Live Action” punya potensi besar untuk menyaingi kesuksesan adaptasi seperti The Last of Us dan Arcane.
Namun berbeda dengan keduanya, film ini menawarkan nuansa yang lebih grounded, lebih mentah, dan lebih emosional seperti menonton film gangster klasik Jepang karya Takeshi Kitano, tapi dengan energi modern.
Mengapa SEGA dan Ryu Ga Gotoku Studio Memilih Adaptasi Film?
Pertanyaan besar muncul: mengapa sekarang?
Mengapa SEGA setelah dua dekade mempertahankan waralaba game ini akhirnya memutuskan menghidupkannya dalam bentuk film live action?
Jawabannya terletak pada momen sejarah industri hiburan, Adaptasi game kini bukan lagi proyek eksperimental, tapi tren besar, Kesuksesan film The Super Mario Bros Movie (2023) dan serial The Last of Us (2024) membuktikan bahwa penonton kini haus akan narasi kuat dari dunia game asal dilakukan dengan hormat dan artistik.
SEGA menyadari bahwa seri Yakuza memiliki semua elemen sinematik: konflik moral, karakter kompleks, latar kota yang megah, dan atmosfer noir khas Jepang, Ini bukan game yang perlu banyak diubah untuk menjadi film; ia sudah film sejak awal.
Selain itu, Ryu Ga Gotoku Studio, tim kreatif di balik seri gamenya, terlibat langsung dalam penulisan dan pengawasan naskah film, Mereka ingin memastikan bahwa film ini bukan sekadar “Yakuza versi Hollywood”, tapi perwujudan visual dari visi orisinal mereka.
Dalam wawancara resmi, produser eksekutif menyebutkan bahwa film ini bukan sekadar nostalgia:
- “Kami ingin dunia memahami bahwa kisah Yakuza adalah kisah tentang manusia tentang cinta, kesetiaan, dan harga diri. Ini bukan cerita kriminal biasa, tapi kisah tentang perjuangan moral di tengah dunia yang kehilangan arah.”
- Dari sisi bisnis, SEGA juga memanfaatkan momentum globalisasi budaya Jepang, Setelah anime, musik J-pop, dan makanan Jepang mendunia, kini giliran film live action Jepang naik ke panggung internasional.
“Like a Dragon: Yakuza” menjadi jembatan budaya baru antara Timur dan Barat memperkenalkan gaya narasi Jepang yang intens namun emosional ke audiens global.
Kehadiran proyek ini juga menjadi langkah strategis untuk memperluas waralaba Yakuza ke pasar baru. Tak heran jika setelah film ini, rumor mulai beredar bahwa serial spin-off juga sedang dipertimbangkan untuk platform streaming seperti Netflix atau Amazon Prime.
Dengan kombinasi warisan kuat, arah artistik jelas, dan dukungan penuh SEGA, film ini tak hanya menjadi adaptasi tapi pernyataan:
bahwa video game bisa menjadi sastra visual, dan film bisa menjadi evolusi alami dari pengalaman bermain.
Sinopsis & Fokus Cerita Film
Film “Like a Dragon: Yakuza” mengambil setting di distrik fiktif Kamurocho, versi sinematik dari Kabukicho, Tokyo.
Kawasan ini adalah pusat dunia malam, tempat para bos Yakuza, pengusaha, dan orang-orang buangan berbaur dalam permainan kekuasaan, Di sinilah kisah Kazuma Kiryu dimulai mantan anggota klan Dojima yang baru saja keluar dari penjara setelah sepuluh tahun.
Namun, dunia yang ia tinggalkan sudah berubah, Klan lamanya hancur, teman-temannya menghilang, dan seorang anak kecil misterius muncul dengan membawa rahasia besar yang bisa mengubah keseimbangan kekuasaan antar geng.
Kiryu yang dulu dikenal sebagai “naga” kini mencoba hidup damai, tapi masa lalunya menolak untuk pergi, Satu demi satu konflik lama menyeruak, dan ia kembali terjebak dalam pusaran kekerasan kali ini bukan demi geng, tapi demi melindungi seseorang yang tak punya siapa-siapa.
Film ini akan mengikuti perjalanan batin Kiryu yang berusaha menebus dosa masa lalunya, Dalam banyak adegan, penonton akan dibawa pada flashback masa muda Kiryu, persahabatannya dengan Nishikiyama, dan tragedi yang membuat mereka berseberangan jalan.
Cerita film dikatakan akan menggabungkan elemen dari game pertama (Yakuza 1) dengan tambahan orisinal baru agar lebih relevan dengan konteks modern, Beberapa karakter ikonik seperti Goro Majima, Makoto Date, dan Haruka juga dikonfirmasi muncul lengkap dengan kepribadian khas mereka.
Yang membuat film ini menonjol bukan hanya aksinya, tapi juga emosi di baliknya, Setiap pertarungan bukan sekadar adu fisik, melainkan representasi konflik moral, Kiryu tidak berkelahi karena suka kekerasan, tapi karena itu satu-satunya cara melindungi prinsipnya.
Dalam trailer perdananya yang dirilis oleh SEGA Pictures, penonton disuguhi adegan pertarungan brutal di lorong sempit berlampu neon, dengan musik latar khas jazz-rock yang menjadi identitas seri gamenya, Visualnya menciptakan suasana seperti gabungan antara film John Wick dan Tokyo Vice, namun dengan jiwa Jepang yang sangat kental, “Like a Dragon: Yakuza Live Action” bukan film superhero, bukan juga aksi berlebihan, Ini adalah drama manusia tentang kehormatan di dunia tanpa kehormatan.
Deretan Pemeran dan Karakter: Jiwa Yakuza yang Dihidupkan Manusia
Kekuatan sejati dari “Like a Dragon: Yakuza Live Action” bukan hanya terletak pada naskahnya, tapi pada pemilihan aktor yang mampu memikul beban karakter-karakter legendaris, Kazuma Kiryu bukan sekadar peran ia adalah simbol. Jadi wajar jika SEGA dan rumah produksi menyeleksi aktor dengan presisi surgawi, nyaris seperti memilih pewaris naga dalam dunia nyata.
Tokoh utama, Kazuma Kiryu, diperankan oleh aktor Jepang ternama Takeru Satoh, yang sebelumnya dikenal lewat perannya sebagai Kenshin Himura di Rurouni Kenshin Live Action, Pemilihan ini menuai tepuk tangan luas karena Satoh memiliki karisma tenang namun mematikan aura yang sempurna untuk sang Naga Dojima, Dalam wawancara bersama Famitsu, Satoh mengatakan,
“Kiryu adalah karakter yang tidak banyak bicara, tapi setiap tatapannya bercerita. Aku berusaha tidak menirunya dari game, tapi menghidupkannya sebagai manusia nyata.”
Di sisi lain, karakter flamboyan Goro Majima dimainkan oleh Shun Oguri, aktor yang dikenal mampu berubah total untuk setiap peran, Dengan gaya rambut khas, mata gila, dan tawa melengking, Oguri dipercaya akan menciptakan Majima versi film yang sama karismatik sekaligus mengerikan.
Untuk karakter Haruka, gadis kecil yang menjadi simbol kemanusiaan dalam dunia keras Kiryu, dipilih aktris muda Mana Ashida, Penampilannya yang polos namun kuat diyakini akan memberi keseimbangan emosional dalam film yang sarat aksi brutal ini.
Selain itu, Hiroshi Abe dikabarkan memerankan Makoto Date, detektif veteran yang sering berkonflik antara tugas dan nurani, Sedangkan Masaki Okada berperan sebagai Nishikiyama Akira, sahabat lama Kiryu yang kini menjadi rival tragis konflik mereka adalah jantung emosional film ini.
Para penggemar lama menyambut baik komposisi pemain ini karena tidak ada unsur casting asal-asalan atau wajah internasional yang “dipaksakan demi pasar Barat.”
Semua pemeran adalah talenta Jepang yang memahami nuansa budaya Yakuza, dari gestur tubuh hingga cara berbicara hormat, Film ini mempertahankan autentisitas etika dan estetika Jepang, sesuatu yang sering hilang di adaptasi besar lainnya.
Dan tak berhenti di situ rumor mengatakan bahwa Takaya Kuroda, pengisi suara orisinal Kiryu di game, akan tampil dalam cameo spesial, Ini semacam persembahan bagi para fans lama, penanda bahwa warisan lama dan baru saling berpelukan di film ini.
Sinematografi dan Aksi Antara Brutalitas dan Keindahan Visual
Salah satu alasan “Like a Dragon: Yakuza Live Action” begitu dinanti adalah karena pendekatan visualnya, Sinematografer Takuro Iida (yang sebelumnya menangani film First Love karya Yukihiko Tsutsumi) menekankan bahwa film ini akan menghadirkan neon noir Tokyo yang memadukan keindahan malam dengan kekerasan mentah.
Setiap adegan berkelahi digarap dengan koreografi tangan kosong yang realistis, jauh dari CGI berlebihan, Pertarungan dibuat seperti tarian berdarah ritmis, intens, dan penuh emosi. Iida bahkan menyebut gaya pengambilan gambar mereka terinspirasi oleh long take sequence ala Oldboy, tapi dengan semangat khas Kamurocho yang penuh cahaya neon dan hujan tipis.
Pukulan bukan sekadar aksi, melainkan narasi visual, Ketika Kiryu memukul lawan, penonton tak hanya melihat darah; mereka melihat beban masa lalu, kesalahan, dan penyesalan yang meledak dalam satu gerakan,
Setiap luka adalah simbol moral, Sutradara memilih palet warna kontras merah darah, biru dingin, dan kuning neon menciptakan lanskap visual yang mencerminkan dunia Yakuza: indah tapi berbahaya, Musik latar disusun oleh Hidenori Shoji, komposer orisinal dari seri game, yang kembali menghadirkan aransemen orkestra dipadu electronic beat urban khas Shinjuku.
Menariknya, film ini juga tidak melupakan elemen ringan khas Yakuza Series, Ada adegan karaoke dan mini game yang diubah menjadi momen humor di tengah tensi dramatis, menjaga keseimbangan antara tragedi dan absurditas karena itulah ciri sejati dunia Like a Dragon.
Para kritikus awal yang menonton pemutaran terbatas di Tokyo menilai film ini sebagai “karya yang memadukan estetika Takashi Miike dengan narasi emosional Nagoshi.”
Miike, yang dulu menyutradarai versi 2007 Like a Dragon, disebut memberi restu pada proyek baru ini — menjadikannya semacam estafet spiritual di antara dua generasi pembuat film Jepang.
Hasilnya adalah film yang tidak hanya menampilkan perkelahian, tapi juga puisi visual tentang kehormatan, dosa, dan penebusan, Di tengah arus blockbuster global yang dipenuhi efek komputer, film ini berdiri dengan gagah: brutal tapi manusiawi, gelap tapi penuh cahaya.
Tantangan Adaptasi Dari Dunia Digital ke Dunia Nyata
Mengadaptasi game sekompleks Yakuza bukan perkara mudah, Dunia gamenya luas, karakternya banyak, dan penggemarnya kritis, Setiap detail mulai dari cara Kiryu berdiri hingga cara Majima tertawa sudah melekat di benak jutaan orang, Kesalahan kecil saja bisa berujung badai komentar di media sosial.
Produser eksekutif film, Masayoshi Yokoyama, mengakui hal ini dalam wawancara eksklusif:
“Kami tahu tekanan besar dari komunitas Yakuza, Tapi kami tidak ingin hanya menyalin game ke film, Kami ingin menciptakan pengalaman baru yang membuat penonton berkata: ‘Inilah Yakuza yang saya kenal, tapi juga belum pernah saya lihat seperti ini sebelumnya.’”
Salah satu tantangan terbesar adalah menyeimbangkan drama naratif dan aksi, Game Yakuza bisa memakan waktu puluhan jam, sedangkan film hanya punya dua jam lebih sedikit untuk merangkum semuanya.
Tim penulis naskah harus memangkas banyak subplot, tapi tetap mempertahankan inti cerita: hubungan antara Kiryu, Haruka, dan Nishikiyama.
Tantangan lainnya adalah menggambarkan dunia kriminal Jepang dengan akurat tanpa menimbulkan stereotip negatif, Film ini menonjolkan sisi kemanusiaan Yakuza kode kehormatan, kesetiaan, dan perjuangan batin bukan glorifikasi kekerasan.
Inilah yang membuatnya berbeda dari film gangster Barat yang hanya menekankan aksi brutal, Secara teknis, produksi juga menghadapi kesulitan besar dalam merekonstruksi Kamurocho.
Mereka membangun ulang distrik fiktif itu di studio film Toei Kyoto dengan detail ekstrem: papan neon, gang sempit, restoran ramen, hingga klub malam.
Setiap sudut dibuat sesuai referensi dari game, bahkan beberapa toko fiktif seperti Don Quijote dan Club SEGA turut dimunculkan sebagai easter egg.
Selain itu, untuk memastikan penonton global tetap bisa mengikuti cerita, film ini juga dirilis dengan dua versi:
versi asli berbahasa Jepang dengan subtitle internasional, dan versi dubbing Inggris yang digarap langsung oleh tim yang biasa mengisi suara game-nya.
Langkah ini memperluas jangkauan pasar tanpa mengorbankan identitas budaya aslinya.
Adaptasi ini, dengan segala risikonya, membuktikan bahwa SEGA dan Ryu Ga Gotoku Studio tidak bermain aman, Mereka berani membawa visi kompleks dari layar game ke layar perak langkah besar yang mungkin akan menjadi tolok ukur baru adaptasi video game di masa depan.
Dampak Budaya dan Ekspektasi Global
Rilis film “Like a Dragon: Yakuza Live Action” bukan hanya peristiwa perfilman Jepang, tapi fenomena budaya dunia, Game Yakuza sendiri telah menjadi jendela bagi banyak orang luar untuk memahami sisi lain Jepang bukan yang penuh bunga sakura dan kimono, melainkan jalanan keras di mana kehormatan diuji.
Kini, lewat film ini, dunia berkesempatan menyaksikan bagaimana nilai-nilai timur ditampilkan dalam bahasa visual yang global.
Banyak analis hiburan menyebut film ini akan memperluas tren “J-Cinematic Wave” gelombang baru perfilman Jepang yang menembus pasar internasional setelah anime, musik J-Pop, dan drama Netflix J-Series.
Jika sukses, film ini bisa membuka jalan bagi adaptasi live action lain dari game Jepang seperti Persona, Shin Megami Tensei, atau bahkan Nier: Automata.
Dampak lainnya terlihat pada komunitas fandom global, Di media sosial, tagar #LikeADragonMovie sempat viral beberapa jam setelah trailer dirilis.
Cosplayer mulai meniru gaya berpakaian Kiryu, bahkan bar karaoke di Tokyo meluncurkan “Night of the Dragon Cocktail” sebagai bentuk promosi.
Fenomena lintas budaya ini mengukuhkan bahwa Yakuza bukan sekadar game atau film, tapi ikon pop culture global.
Secara ekonomi, film ini diprediksi menjadi salah satu proyek Jepang dengan pendapatan internasional tertinggi dalam dekade ini.
Distributor di Amerika dan Eropa sudah bersaing untuk hak tayang, sementara platform streaming besar dikabarkan menyiapkan spin-off series jika filmnya sukses.
Namun dampak paling besar mungkin datang dari sisi emosional:
Film ini memperkenalkan pada dunia tentang bentuk maskulinitas baru bukan sekadar kekuatan fisik, tapi kesetiaan, empati, dan kehormatan.
Kiryu Kazuma menjadi simbol pria yang tak sempurna tapi terus berjuang untuk menjadi lebih baik, bahkan ketika dunia menolaknya.
Dalam dunia hiburan yang semakin didominasi CGI dan formula blockbuster, “Like a Dragon: Yakuza Live Action” berdiri sebagai oasis kejujuran dan keberanian artistik.
Sang Naga Kembali Bangkit
Pada akhirnya, “Like a Dragon: Yakuza Live Action” bukan hanya adaptasi ia adalah manifesto budaya.
Film ini menunjukkan bahwa kisah yang berakar dalam budaya lokal bisa berbicara dengan bahasa universal: bahasa emosi manusia.
Kazuma Kiryu, dengan tatapan dingin dan hati hangatnya, adalah lambang dari perjuangan abadi manusia melawan nasib, Ia bukan pahlawan tanpa cela, melainkan sosok yang memilih berjalan di jalan sulit demi mempertahankan martabat.
Itulah sebabnya, dua dekade sejak pertama kali muncul di PlayStation 2, ia tetap dicintai jutaan orang.
Film ini adalah perayaan bukan hanya bagi penggemar game, tapi juga bagi siapapun yang percaya bahwa hiburan bisa menyentuh jiwa.
Dengan kombinasi naskah matang, visual megah, akting kuat, dan semangat sejati Jepang, “Like a Dragon: Yakuza Live Action” berpotensi menjadi salah satu adaptasi video game terbaik sepanjang masa.
Dan ketika layar akhirnya gelap, hanya satu hal yang tersisa di kepala penonton:
“Seperti naga, seseorang tidak memilih jalan hidupnya ia menempanya, selangkah demi selangkah, di antara bara api dan kehormatan.”
